Raja’ bin Haiwah adalah seorang ulama, sekaligus mentri yang mempunyai andil besar dalam proses diangkatnya khalifah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, beliau menceritakan detik-detik proses pengangkatannya sebagai khalifah kaum muslimin, dia bercerita:
“Di awal hari Jumat di bulan Shafar tahun 99 H, aku mendampingi Amirul Mukminin, Sulaiman bin Abdul Malik di Dabik. Saat itu Amirul Mukminin telah mengutus suatu pasukan yang kuat untuk menggempur Turki di bawah komando saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, dan di dampingi putra beliau, Daud.
Ketika waktu telah mendekati shalat Jumat, Amirul Mukminin berwudhu dengan sebagus-bagusnya wudhu, memakai jubah berwarna hijau dan sorban yang berwarna hijau pula. Beliau merasa bangga melihat dirinya di cermin yang terlihat masih muda, di mana usia beliau ketika itu baru sekitar 40 tahun. Kemudian beliau keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama orang-orang. Sepulangnya dari shalat Jumat beliau tiba-tiba merasa demam. Rasa sakit tersebut kian hari, semakin bertambah parah. Sehingga beliau meminta aku (Raja’) untuk senantiasa berada di sisinya.
Suatu kali, ketika aku masuk ke ruangan khalifah, aku dapati Beliau sedang menulis sesuatu. Aku bertanya: “Apa yang sedang anda lakukan wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab: “Aku menulis wasiat untuk penggantiku yakni putraku Ayyub.”
Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa yang akan menyelamatkan Anda dari siksa kubur dan membebaskan anda dari tanggung jawab kelak di hadapan Allah adalah dengan menunjuk seorang pengganti yang shalih untuk umat ini. Sedangkan putra anda itu masih terlampau kecil, belum dewasa, belum dapat dijamin kebaikan dan keburukannya.” Beliau berkata: “Ini hanya tulisan main-main saja. Untuk itu, aku hendak shalat istikharah dahulu.” Kemudian beliau merobaek tulisan tersebut.
Setelah satu atau dua hari kemudian aku dipanggil dan ditanya: “Bagaimana tentang putraku, Daud wahai Abu Miqdam?” Aku berkata: “Dia tidak ada di sini, dia sedang berada di medan perang di Kontantinopel bersama kaum muslimin dan anda sendiri tidak mengetahui, apakah dia masih hidup atau sudah gugur.” Beliau berkata: “Menurutmu, siapakah gerangan yang pantas menggantikan Aku wahai Roja’?”
Aku berkata: “Keputusannya terserah anda wahai Amirul Mukminin.” Aku ingin melihat siapa saja yang beliau sebut, sehingga aku bisa mengomentarinya satu persatu, lalu sampailah nama Umar bin Abdul Aziz yang sebenarnya aku maksud.” Beliau berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?”
Aku berkata: “Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang Beliau melainkan orang yang utama, sempurna, berakal, bagus agamanya dan berwibawa.” Beliau berkata: “Engkau benar, demi Allah dialah yang layak untuk jabatan ini. Hanya saja jika dia yang aku angkat sementara aku tinggalkan anak-anak Abdul Malik, tentu akan terjadi fitnah.” Aku berkata: “Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka dan tetapkan sebagai pengganti setelah Umar.”
Beliau berkata: “Anda benar, hal itu bisa membuat mereka tenang dan ridho.” Kemudian Amirul mukminin mengambil kertas dan menulis,
“bismillahirrohmanirrohim. Ini adalah surat dari hamba Allah, Amirul Mukminin, Sulaiman bin Abdul Malik untuk Umar bin Abdul Aziz. Aku mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku, dan setelah kamu adalah Yazid bin Abdul Malik, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah dia, janganlah kalian bercerai-berai karena akan mengakibatkan senangnya orang-orang yang menginginkan hal itu terjadi pada kalian.”
Kemudian beliau menutup surat itu dan menyerahkannya kepadaku, selanjutnya beliau memerintahkan kepada Ka’ab bin Hamiz selaku kepala keamanan, beliau berkata: “Perintahkanlah seluruh keluargaku untuk berkumpul dan sampaikan bahwa surat wasiat yang berada di tangan Raja’ bin Haiwah adalah benar-benar pernyataanku. Lalu perintahkanlah mereka untuk berbai’at kepada orang yang disebutkan namanya dalam wasiat itu.”
Setelah semua berkumpul aku berkata: “Ini adalah surat wasiat Amirul Mukminin yang berisi perintah pengangkatan khalifah penggantinya dan beliau memerintahkan aku untuk mengambil bai’at kalian bagi orang yang tercantum sebagai calon penggantinya.” Mereka berkata: “Kami mendengar, dan akan taat kepada Amirul Mukminin penggantinya.” Kemudian mereka meminta izin untuk menemui khalifah.
Setelah mereka masuk, Sulaiman berkata: “Sungguhnya surat yang ada di tangan Raja’ berisi pesan bagi khalifah penggantiku, maka taatilah dia dan bai’atlah dia yang namanya aku sebutkan di dalamnya.” Satu demi satu orang-orang membai’at. Kemudian aku keluar dengan membawa surat tertutup rapi dan tidak ada seorangpun yang tahu kecuali aku dan Amirul Mukminin.
Setelah orang-orang membubarkan diri, Umar bin Abdul Aziz mendekatiku dan berkata: “Wahai Abu Miqdam, selama ini Amirul Mukminin begitu baik kepadaku dan telah memberikan kekuasaan karena kebijaksanaan dan ketulusannya dalam masalah ini. Oleh sebab itu, aku bertanya karena Allah, atas nama persahabatan dan kesetiakawanan kita, beritahukanlah aku nama tersebut, seandainya dalam wasiat Amirul Mukminin tersebut ada sesuatu yang ditujukan khusus kepadaku, agar aku bisa menolaknya sebelum terlambat.”
Aku berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu huruf pun dari isi surat itu tentang apa yang kau inginkan.” Umar bin Abdul Azizpun pergi dengan kecewa.”
Setelah itu giliran Hisyam bin Abdul Malik mendekatiku dan berkata: “Wahai Abu Miqdam, di antara kita telah terjalin persahabatan yang begitu lama. Aku mengucapkan banyak terima kasih untuk itu dan tidak akan melupakan jasa-jasamu. Maka tolong beritahu aku isi surat Amirul Mukminin itu. Jika jabatan itu diserahkan kepadaku, aku akan tutup mulut, tetapi jika diberikan kepada yang lain, aku akan bicara. Orang seperti saya tidak selayaknya dikesampingkan dalam urusan ini. Aku bersumpah tidak akan membocorkan rahasia ini.”
Aku berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu huruf pun dari isi surat yang dipercayakan Amirul Mukminin kepadaku.” Dia pergi dengan mengepalkan tangannya seraya menggerutu: “Kepada siapa lagi dia menyerahkan jabatan jika aku disingkirkan? Mungkinkah khalifah ini akan lepas dari tangan anak-anak Abdul Malik? Demi Allah, akulah yang paling utama di antara anak-anak Abdul Malik!”
Kemudian aku menemui Amirul mukminin, kulihat beliau semakin bertambah parah dan mendekati sakaratul maut. Melihat kegelisahannya kuhadapkan beliau ke arah kiblat, kemudian tidak lama setelah itu, beliau mengucapkan 2 kalimat syahadat, Asyhadu an lailaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” dan menghembuskan nafas terakhir.
Aku pejamkan kedua matanya, aku tutup tubuhnya dengan kain, lalu kututup pintu ruangan itu rapat-rapat. Pada saat utusan istri Khalifah ingin menengoknya aku menghalangi pintu masuk sambil berkata: “Lihatlah dia baru bisa tidur setelah gelisah semalam suntuk. Karena itu biarkan dulu dia dengan ketenangannya.” Syukurlah istri Khalifah menerima alasan itu dengan baik.
Kemudian aku mengunci pintu dan menempatkan seorang penjaga yang kupercaya sambil berpesan kepadanya: “Jangan ijinkan seorangpun masuk hingga aku kembali nanti.”
Kemudian aku pergi menemui manusia, mereka bertanya tentang keadaan amirul mukminin, maka aku katakan bahwa belum pernah beliau setenang ini semenjak sakitnya.”
Setelah itu aku meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semua hadir aku berkata: “Berbai’atlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini.” Mereka berkata: “Kami sudah berbai’at kemarin, mengapa harus berbai’at lagi?” Aku berkata: “Ini adalah perintah Amirul Mikminin. Kalian harus meentaati perintahnya untuk membai’at orang yang namanya dalam surat ini.”
Satu-persatu mereka berbai’at kembali. Setelah kulihat semuanya berjalan dengan lancar, baru aku katakan: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..”
Aku membaca surat wasiat amirul mukminin dan membacanya, ketika kusebutkan nama Umar bin Abdul Aziz, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak: “Aku tidak akan membai’at dia selamanya!” Aku berkata: “Kalau begitu, demi Allah, aku akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau bai’at dia.” Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya dia berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata: “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..” (dia sesalkan kenapa khalifah jatuh ke tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putera Abdul Malik). Umarpun menjawab: “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..” (beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah)
Setelah diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau memerintahkan supaya memanggil manusia untuk mendirikan shalat. Maka manusia berbondong-bondong pergi ke masjid. Ketika mereka semua telah berkumpul, beliau bangun dan berdiri menyampaikan ucapan. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi kemudian beliau berkata:
“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pertimbangan kepadaku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan dariku serta tidak dimusyawarahkan bersama dengan umat Islam terlebih dahulu. Sekarang aku membatalkan bai’at yang kalian berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang kalian ridhoi”.
Tiba-tiba orang ramai serentak berkata:“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga ridho kepadamu. Oleh karena itu perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkahan”.
Lalu beliau berpesan kepada orang ramai supaya bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Barangsiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan siapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh siapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepadaku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kalian dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah kalain mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar
Tunggu kisah menarik yang lain dari kisah hidup Umar bin Abdul Aziz....
Umar bin Abdul Aziz, Raja yang bersahaja
Umar bin Abdul Aziz, Raja yang bersahaja
Banyak disadur dari : Jejak para Tabi’in dengan perubahan seperlunya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar