Senin, 10 Februari 2014

Kiat Sukses Meraih Ridha ALLAH


Telah kita ketahui bersama bahwa setiap muslim pasti mengharapkan keridhoaan dari Allah subhanahu wa taala, keridhoan hidup di dunia dan keridhoan kelak di akherat. Yang mana keridhoaan Allah akan berujung pada kebaikan yaitu dimasukkan ke dalam surga serta dihindarkan dari siksa api neraka. Allah subhanahu wa taala berfirman:
جَزَآؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّتُ عَدْنٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الانْهَرُ خَلِدِيْنَ فِيْهَآ أَبَدًا رَّضِىَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْاعَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
"Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya". (QS. Al Bayyinah: 8)
Lalu, apa saja kiat-kiat untuk mendapatkan keridhoaan dari Allah subhanahu wa taala tersebut?
       Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَ يَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثاً، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَ لاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعاً وَ لاَ تَفَرَّقُوْا وَ أَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَ قاَلَ وَ كَثْرَةَ السُّؤَالِ وَ إِضَاعَةَ الْمَالِ
"Sesungguhnya Allah meridhoi bagi kalian 3 (tiga) perkara dan membenci bagi kalian 3 (tiga) perkara juga: Allah meridhoi kalian jika kalian menyembah (beribadah) Allah tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu pun, Kalian berpegang teguh dengan tali agama Allah dan tidak bercerai berai, dan jika kalian saling menasehati kepada orang yang Allah berikan kekuasan atas diri kalian. Allah membenci bagi kalian: desas-desus, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta" (Muttafaqun 'alaih)
                Dalam hadits yang mulia ini terdapat 3 (tiga) hal pokok yang menjadi sebab utama turunnya keridhoaan Allah taala kepada umat ini, yaitu:
Pertama: Beribadah hanya kepada Allah tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
                Ibadah adalah setiap nama yang mencakup segala hal yang dicintai Allah dan yang diridhoi-Nya, baik berupa perkataan atau perbuatan yang dhohir (Nampak) maupun yang batin (tidak Nampak). Permasalahan tauhid ini merupakan sebab utama diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para Rasul untuk menyeru umatnya agar memurnikan segala bentuk ibadah hanya untuk Allah semata.
                Semua rasul yang diutus dari awal rasul, Nabi Nuh sampai Rasul yang terakhir, Nabi Muhamamad shalallahu ‘alaihi wa sallam semuanya menyerukan kalimat yang sama kepada kaumnya:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
"Wahai kaumku! Sembahlah Allah saja karena sekali-kali tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia, mengapa kalian tidak bertaqwa?".
                Inilah kalimat yang didakwahkan oleh para Rasul, yaitu mereka menyerukan kalimat tauhid Laailahaillallah, tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah subhanahu wa taala.
                Aqidah islam ini nyaris hilang dari dada-dada kaum muslimin, hal ini terjadi karena manusia salah dalam memahami kalimat tauhid Laailahaillallah. Para ulama' menafsirkan kata al-ilah dengan al-ma'bud bil haq (yang diibadahi dengan benar), sehingga makna kalimat laailahaillallah yang benar adalah
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ
(Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah)
                Dan inilah tujuan utama diutusnya para Rasul dari rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir yaitu agar memurnikan ibadah hanya untuk Allah taala.
Kedua: Berpegang tenguh dengan tali agama Allah dan tidak bercerai berai
                Ibarat seseorang yang berada di mulut jurang yang ia hampir terperosok ke dalamnya, maka pada saat itu yang ia butuhkan adalah tali yang dijadikan sebagai pegangan dan digunakan untuk berusaha menjauh dari mulut jurang tersebut. Demikian halnya dengan keadaan kita yang hidup di zaman yang penuh dengan fitnah dan kerusakan merajalela di mana-mana, maka yang kita butuhkan adalah tali untuk berpegang agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan dan hawa nafsu. Dan tidak ada pegangan lain kecuali Alquran dan Assunnah Asshahihah. Allah  menyatakan:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian". (QS. An nisa': 59)
                Namun akan muncul pertanyaan: cukupkah hanya dengan Alquran dan Assunnah saja? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang gamblang dan jelas ketika beliau menerangkan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali hanya satu. Lalu, siapakah satu golongan itu? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan:
الجَمَاعَةُ               (Jamaah)  
Dalam riwayat yang lain:
        مَا أَناَ عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحاَبِيْ            
"Apa-apa yang pada hari ini aku dan para sahabatku berada di atasnya" (HR. Tirmidzi dan Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy)
                Pada hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  menegaskan bahwa kelompok yang selamat hanya satu yaitu manusia yang mengikuti jamaahnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, karena pada waktu itu tidak ada jamaah islam kecuali hanya jamaah mereka.
                Maka tidak ada jalan keluar dari perpecahan ini kecuali kembali kepada 'induk jamaah islam' yaitu jamaah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, manhaj dakwah ataupun dalam muamalah sesama manusia. Merekalah jamaah yang mendapatkan keridhoan dari Allah taala:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. At taubah: 100)

Ketiga: Saling nasehat-menasehati terhadap waliyul amri (para penguasa)
                Menasehati penguasa adalah beramar makruf nahi mungkar baik dari penguasa yang mempunyai ruang lingkup kecil, seperti RT, RW, kepala desa hingga penguasa-penguasa yang lebih tinggi tingkatannya dari mereka.
                Saling nasehat menasehati ini dapat dilakukan dengan cara mendakwahi mereka, memberikan sumbangsih pemikiran yang berharga, memberikan semangat dalam hal-hal kebaikan, amar makruf nahi munkar serta menegur mereka jika mereka melakukan kesalahan dengan cara yang baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam menjelaskan bagaimana menasehati penguasa:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ السُّلْطَانِ فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ ثُمَّ لِيَخْلُ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ فَإِنَّهُ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa menginginkan untuk memberikan nasehat kepada penguasa, maka hendaknya ia tidak menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya dia menggandeng tangannya kemudian diajak menyendiri berbicara empat mata, jika ia menerima maka itulah yang diharapkan dan jika tidak maka dia telah menunaikan kewajiban yang ada dipundaknya" (HR. Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad yang hasan)
                Inilah contoh dari Rasulullah dalam menasehati para penguasa, bukan dengan menyebarkan kesalahan-kesalahannya di atas podium-podium, membeberkannya di media masa, baik cetak ataupun elektronik, dan yang lebih parah lagi sekarang sedang marak-maraknya adalah melakukan unjuk rasa demonstrasi, padahal dalam demonstrasi ini sama sekali tidak ada kebaikan yang didapatkan, tapi justru sebaliknya, berdampak lebih buruk seperti terjadinya inflasi pasar, kenaikan harga sembako, keamanan terganggu dan seterusnya. Yang ini semua akan berimbas pada penderitaan rakyat kecil. Coba renungkan apakah kita mau mendholimi saudara kita, saudara kita sesama muslim?
                Sayangilah pemimpin kalian, taatilah penguasa-penguasa kalian selama mereka tidak menyuruh untuk berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa taala. Lihatlah bagaimana para pendahulu kita, Fudhoil bin Iyadh, beliau sangat sering mendoakan kebaikan untuk penguasa pada zamannya, padahal pemimpin pada zaman tersebut adalah penguasa yang dhalim, sampai-sampai karena banyaknya doanya tersebut ada yang berkata kepadanya: "Engkau mendoakan mereka lebih banyak dari doamu untuk dirimu sendiri !?" Apa jawab Fudhoil ? Dia mengatakan: "Ya, karena jika aku yang baik, maka kebaikanku tersebut hanya dirasakan diriku sendiri dan orang-orang di sekitarku, adapun jika pemimpin yang baik niscaya kebaikannya akan menyeluruh meliputi seluruh manusia". Masya Allah ! Inilah sikap yang sangat terpuji dari para pendahulu kita.
                Semoga Allah menjadikan kita umat yang diridhoi-Nya serta memberikan hidayah petunjuk kepada penguasa dan pemimpin kita, sehingga kita dapat merasakan kebaikan di dunia maupun di akherat. Wallahu a'lam

1 komentar: