Telah kita ketahui bersama bahwa
setiap muslim pasti mengharapkan keridhoaan dari Allah subhanahu wa taala,
keridhoan hidup di dunia dan keridhoan kelak di akherat. Yang mana keridhoaan
Allah akan berujung pada kebaikan yaitu dimasukkan ke dalam surga serta
dihindarkan dari siksa api neraka. Allah subhanahu
wa taala berfirman:
جَزَآؤُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ جَنَّتُ عَدْنٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الانْهَرُ خَلِدِيْنَ فِيْهَآ
أَبَدًا رَّضِىَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْاعَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
"Balasan
mereka di sisi Rabb mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Rabbnya". (QS.
Al Bayyinah: 8)
Lalu,
apa saja kiat-kiat untuk mendapatkan keridhoaan dari Allah subhanahu wa taala
tersebut?
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَ يَكْرَهُ
لَكُمْ ثَلاَثاً، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَ لاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعاً وَ لاَ تَفَرَّقُوْا وَ أَنْ
تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَ قاَلَ
وَ كَثْرَةَ السُّؤَالِ وَ إِضَاعَةَ الْمَالِ
"Sesungguhnya Allah meridhoi bagi kalian 3 (tiga) perkara
dan membenci bagi kalian 3 (tiga) perkara juga: Allah meridhoi kalian jika
kalian menyembah (beribadah)
Allah tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu pun, Kalian berpegang teguh
dengan tali agama Allah dan tidak bercerai berai, dan jika kalian saling
menasehati kepada orang yang Allah berikan kekuasan atas diri kalian. Allah
membenci bagi kalian: desas-desus, banyak bertanya dan menyia-nyiakan
harta" (Muttafaqun 'alaih)
Dalam hadits yang mulia ini
terdapat 3 (tiga) hal pokok yang menjadi sebab utama turunnya keridhoaan Allah taala
kepada umat ini, yaitu:
Pertama:
Beribadah hanya kepada Allah tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Ibadah adalah setiap nama yang
mencakup segala hal yang dicintai Allah dan yang diridhoi-Nya, baik berupa
perkataan atau perbuatan yang dhohir (Nampak) maupun yang batin (tidak Nampak).
Permasalahan tauhid ini merupakan sebab utama diturunkannya kitab-kitab dan
diutusnya para Rasul untuk menyeru umatnya agar memurnikan segala bentuk ibadah
hanya untuk Allah semata.
Semua rasul yang diutus dari
awal rasul, Nabi Nuh sampai Rasul yang terakhir, Nabi Muhamamad shalallahu ‘alaihi wa sallam
semuanya menyerukan kalimat yang sama kepada kaumnya:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا
اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
"Wahai
kaumku! Sembahlah Allah saja karena sekali-kali tidak ada ilah yang berhak
disembah selain Dia, mengapa kalian tidak bertaqwa?".
Inilah kalimat yang didakwahkan
oleh para Rasul, yaitu mereka menyerukan kalimat tauhid Laailahaillallah,
tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah subhanahu
wa taala.
Aqidah islam ini nyaris hilang
dari dada-dada kaum muslimin, hal ini terjadi karena manusia salah dalam
memahami kalimat tauhid Laailahaillallah. Para ulama' menafsirkan kata al-ilah
dengan al-ma'bud bil haq (yang diibadahi dengan benar), sehingga
makna kalimat laailahaillallah yang benar adalah
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ
(Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali
hanya Allah)
Dan inilah tujuan utama
diutusnya para Rasul dari rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir yaitu
agar memurnikan ibadah hanya untuk Allah taala.
Kedua:
Berpegang tenguh dengan tali agama Allah
dan tidak bercerai berai
Ibarat seseorang yang berada di
mulut jurang yang ia hampir terperosok ke dalamnya, maka pada saat itu yang ia
butuhkan adalah tali yang dijadikan sebagai pegangan dan digunakan untuk
berusaha menjauh dari mulut jurang tersebut. Demikian halnya dengan keadaan
kita yang hidup di zaman yang penuh dengan fitnah dan kerusakan merajalela di
mana-mana, maka yang kita butuhkan adalah tali untuk berpegang agar tidak
terjerumus ke jurang kesesatan dan hawa nafsu. Dan tidak ada pegangan lain
kecuali Alquran dan Assunnah Asshahihah. Allah menyatakan:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian".
(QS. An nisa': 59)
Namun akan muncul pertanyaan:
cukupkah hanya dengan Alquran dan Assunnah saja? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan jawaban yang gamblang dan jelas ketika beliau menerangkan bahwa umat
islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali hanya
satu. Lalu, siapakah satu golongan itu? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
dengan:
الجَمَاعَةُ (Jamaah)
Dalam
riwayat yang lain:
مَا أَناَ عَلَيْهِ
الْيَوْمَ وَ أَصْحاَبِيْ
"Apa-apa yang pada hari ini aku dan para sahabatku berada
di atasnya" (HR. Tirmidzi dan Hakim dan
dihasankan oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy)
Pada hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa
kelompok yang selamat hanya satu yaitu manusia yang mengikuti jamaahnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat, karena pada waktu itu tidak ada jamaah islam kecuali hanya
jamaah mereka.
Maka tidak ada jalan keluar dari
perpecahan ini kecuali kembali kepada 'induk jamaah islam' yaitu jamaah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, manhaj dakwah ataupun
dalam muamalah sesama manusia. Merekalah jamaah yang mendapatkan keridhoan dari
Allah taala:
وَالسَّابِقُونَ
اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar".
(QS. At taubah: 100)
Ketiga:
Saling nasehat-menasehati terhadap waliyul
amri (para penguasa)
Menasehati penguasa adalah beramar
makruf nahi mungkar baik dari penguasa yang mempunyai ruang lingkup kecil,
seperti RT, RW, kepala desa hingga penguasa-penguasa yang lebih tinggi
tingkatannya dari mereka.
Saling nasehat menasehati ini
dapat dilakukan dengan cara mendakwahi mereka, memberikan sumbangsih pemikiran
yang berharga, memberikan semangat dalam hal-hal kebaikan, amar makruf nahi
munkar serta menegur mereka jika mereka melakukan kesalahan dengan cara yang
baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda dalam menjelaskan
bagaimana menasehati penguasa:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ السُّلْطَانِ
فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ ثُمَّ لِيَخْلُ بِهِ فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ فَإِنَّهُ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa menginginkan untuk memberikan nasehat kepada
penguasa, maka hendaknya ia tidak menyampaikannya secara terang-terangan, akan
tetapi hendaknya dia menggandeng tangannya kemudian diajak menyendiri berbicara
empat mata, jika ia menerima maka itulah yang diharapkan dan jika tidak maka
dia telah menunaikan kewajiban yang ada dipundaknya" (HR.
Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad yang hasan)
Inilah contoh dari Rasulullah
dalam menasehati para penguasa, bukan dengan menyebarkan kesalahan-kesalahannya
di atas podium-podium, membeberkannya di media masa, baik cetak ataupun
elektronik, dan yang lebih parah lagi sekarang sedang marak-maraknya adalah
melakukan unjuk rasa demonstrasi, padahal dalam demonstrasi ini sama sekali
tidak ada kebaikan yang didapatkan, tapi justru sebaliknya, berdampak lebih
buruk seperti terjadinya inflasi pasar, kenaikan harga sembako, keamanan
terganggu dan seterusnya. Yang ini semua akan berimbas pada penderitaan rakyat
kecil. Coba renungkan apakah kita mau mendholimi saudara kita, saudara kita
sesama muslim?
Sayangilah pemimpin kalian,
taatilah penguasa-penguasa kalian selama mereka tidak menyuruh untuk berbuat
maksiat kepada Allah subhanahu wa taala. Lihatlah bagaimana para
pendahulu kita, Fudhoil bin Iyadh, beliau sangat sering mendoakan kebaikan
untuk penguasa pada zamannya, padahal pemimpin pada zaman tersebut adalah
penguasa yang dhalim, sampai-sampai karena banyaknya doanya tersebut ada yang
berkata kepadanya: "Engkau mendoakan mereka lebih banyak dari doamu untuk
dirimu sendiri !?" Apa jawab Fudhoil ? Dia mengatakan: "Ya, karena
jika aku yang baik, maka kebaikanku tersebut hanya dirasakan diriku sendiri dan
orang-orang di sekitarku, adapun jika pemimpin yang baik niscaya kebaikannya
akan menyeluruh meliputi seluruh manusia". Masya Allah ! Inilah sikap
yang sangat terpuji dari para pendahulu kita.
Semoga Allah menjadikan kita
umat yang diridhoi-Nya serta memberikan hidayah petunjuk kepada penguasa dan
pemimpin kita, sehingga kita dapat merasakan kebaikan di dunia maupun di
akherat. Wallahu a'lam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus