Rabu, 30 November 2011

Sejenak Bersama Rabi' bin Khutsaim


Hilal bin Isaf bercerita kepada tamunya yang bernama Mundzir Ats Tsauri: “Tidakkah sebaiknya kuantarkan engkau kepada Syaikh agar kita bisa menambah keimanan sesaat? Jawab Mundzir: “Baik Aku setuju. Demi Allah tidak ada yang mendorong aku datang ke Kufah ini melainkan ingin bertemu dengan gurumu, Rabi’ bin Khutsaim dan rindu untuk bisa tinggal sesaat dalam taman iman bersamanya.

Kemudian pergilah keduanya kepada Rabi’ bin Khutsaim. Setelah mengucapkan salam, mereka bertanya: “Bagaimana kabar anda hari ini wahai Syaikh?”
Ar-Rabi’ : “Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rizki-Nya dan menanti ajal.”
Hilal : “Sekarang di Kufah ini ada seorang tabib yang handal. Apakah Syaikh mengizinkan kami memanggilnya untuk anda?”
Ar-Rabi’ : “Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu adalah benar-benar berkhasiat. Tetapi aku belajar kepada kaum ‘Aad, Tsamud, penduduk Rass dan abad-abad di antara mereka. Telah kudapati bahwa mereka sangat gandrung dengan dunia, rakus dengan segala perhiasannya. Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah-tengah mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tidak ada yang tersisa lagi baik yang mengobati atau yang diobati karena binasa. (beliau menghela nafas panjang dan berkata) seandainya itulah penyakitnya, tentulah aku akan berobat.”
Mundzir : “Kalau demikian, apa penyakit yang anda derita wahai Tuan Guru?”
Ar-Rabi’ : “Penyakitnya adalah dosa-dosa.”
Mundzir : “Lantas, apa obatnya?”
Ar-Rabi’ : “Obatnya adalah istighfar.”
Mundzir : “Bagaimana bisa pulih kesehatannya?”
Ar-Rabi’ : “Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya (Beliau menatap kedua tamunya sambil berkata), dosa yang tersembunyi... dosa yang tersembunyi... waspadalah kalian terhadap dosa meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah, segeralah datangkan obatnya!”
Mundzir : “Apa obatnya?”
Ar-Rabi’ : “Dengan taubat nasuha (lalu beliau menangis hingga basah jenggotnya)
Mundzir : “Mengapa anda menangis wahai tuan guru?”
Ar-Rabi’ : “Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri.”

Hilal bercerita : “Ketika kami asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang puteranya, setelah memberi salam dia berkata : “Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawa kemari?”
Beliau berkata : “Bawalah kemari!”
Pada saat puteranya keluar, terdengat orang meminta-minta mengetuk pintu. Syaikh itu berkata : “Suruhlah dia masuk.”
Ternyata dia adalah seorang tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan kesana-kemari, terlihat di wajahnya bahwa dia tidak begitu waras. Saya terus memperhatikan hingga kemudian masuklah putera Syaikh Robi’ membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.
Maka diletakkan roti itu ditangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia memakannya hingga habis tanpa sisa.
Putra syaikh yang membawa roti tersebut berkata: “Semoga Allah merahmati Ayah, ibu telah bersusah payah untuk membut roti itu untuk ayah, kami sangat berharap agar ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti iru kepada orang lingung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya. Syaikh menjawab : “Wahai putraku, jika dia tidak tahu, maka sesungguhnya Allah Maha Tahu.” Kemudian beliau membaca firman Allah: “sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.... (QS. Ali Imron: 92)
Kemudian berlalu beberapa saat.

Hilal melanjutkan ceritanya : “Setelah ku lihat waktu hampir memasuki dzuhur, aku berkata : “Wahai Syaikh, berilah aku nasehat!”
Beliau berkata : “Wahai Hilal, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya sanjungan orang terhadapmu, sebab orang-orang tidak mengerahui siapa dirimu sebenarnya, melainkan hanya melihat lahiriyahmu saja. Ketahuilah, engkau tergantung pada amalanmu, setiap amalan yang dikerjakan bukan karena Allah akan sia-sia.”
Mundzir juga berkata : “Wahai Syaikh, berilah wasiat kepadaku juga, semoga Allah membalas kebaikan anda.”
Beliau berkata : “Wahai Mundzir, bertaqwalah kepada Allah terhadap ilmu yang telah kau ketahui dan yang masih tersembunyi bagimu, serahkanlah kepada yang mengetahuinya. Wahai Mundzir, jangan sekali-kali salah satu di antara kalian berdoa: “Ya Allah aku telah bertaubat”, lalu tidak melakukannya, sebab dia dianggap dusta. Tapi katakanlah : “Ya Allah Ampunilah aku!” maka itu akan menjadi doa. Ketahuilah wahai Mundzir, tidak ada kebaikan dalam ucapan kecuali untuk tahlil, bertahmid kepada Allah, takbir, dan bertasybih kepada-Nya, bertanya tentang kebaikan, menjaga dari kejahatan, menyeru yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan membaca Alquran.”

Kemudian beliau memperhatikan kami dan berkata : “Perbanyaklah mengingat mati, karena ia adalah perkara ghaib yang amat dekat tiba saatnya. Sesuatu yang ghaib meskipun lama waktunya, pasti serasa dekat ketika datangnya.”
Beliau terisak menangis sambil berkata terbata-bata : “Apa yang akan kita perbuat kelak tatkala : 

كَلآَّ إِذَا دُكَّتِ اْلأَرْضُ دَكاًّ دَكًّا ، وَجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ، وَجِاىءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ اْلإِنسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى

Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabbmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari manusia ingat, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (QS. Al Fajr: 21-23)


Belum lagi beliau selesai bicara, terdengar suara adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syaikh berkata kepadanya: “Mari kita sambut panggilan Allah.”
Puteranya berkata kepada kami: “Tolong bantu saya memapah beliau ke masjid. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.”
Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga dia bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan. Mundzir berkata: “Wahai Syaikh, sesungguhnya Allah memberi rukhshah (keringanan) bagi anda untuk boleh shalat di rumah.”
Beliau berkata : “Memang benar apa yang anda katakana, akan tetapi aku mendengar seruan: “Hayya alal Falah (marilah menuju kemenangan)!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walau harus dengan merangkak…”

Setelah cerita tersebut… tahukan anda, siapakah Rabi’ bin Khutsaim itu?

Beliau adalah salah satu ulama’ tabiin yang utama, murid dari sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dialah murid yang paling banyak meneladani sikap dan perilakunya. Beliau adalah orang arab asli, suku Mudhar, bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada kakeknya, Ilyas dan Mudhar. Beliau tumbuh di atas ketaatan kepada Allah sejak usia dini.

Ibunda beliau sering terbangun tengah malam dan melihatnya masih di mihrabnya, hanyut dalam munajat dan tenggelam dalam shalatnya. Ibunya menegur: “Wahai anakku Rabi’, tidakkah engkau tidur?” Beliau  menjawab: “Bagaimana bisa tidur, wahai ibu, seseorang yang di waktu gelap khawatir akan disergap musuh?” 

Melelehlah air mata di pipi ibu yang telah lanjut usia dan lemah itu, lalu didoakan puteranya itu agar mendapat kebaikan.
Ar-Rabi’ tumbuh menjadi dewasa, seiiring dengan bertambahnya wara’ dan takutnya kepada Allah. Sering kali ibunya merasa khawatir karena melihat puteranya sering menangis sendiri di tengah malam, padahal orang lain tengah lelap dalam tidurnya. Sampai-sampai terlintas di benak ibunya sesuatu yang bukan-bukan lalu beliau memanggilnya,
Ibu : “Apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu wahai anakku, apakah engkau telah berbuat jahat atau telah membunuh seseorang?”
Ar-Rabi’ : “Benar, aku telah membunuh seorang jiwa.”
Ibu : “Siapa gerangan yang telah engkau bunuh, nak? Katakanlah agar aku bisa meminta orang-orang menjadi perantara untuk berdamai dengan keluarganya, mungkin mereka akan memaafkanmu. Demi Allah, seandainya keluarga korban itu mengetahui tangisan dan penderitaanmu itu, tentulah mereka akan mereasa kasihan melihatmu.”
Ar-Rabi’ : “Wahai Ibu, jangan beritahukan kepada siapapun, aku telah membunuh jiwaku dengan dosa-dosa.”

Masyaallah kisah yang sangat menakjubkan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar